Sabtu, 27 Oktober 2012

MENJAGA SURPLUS


MENJAGA SURPLUS
B
adan Pusat Statistik mencatat kinerja ekspor Indonesia pada Agustus 2012 menurun menjadi 14,12 miliar dollar AS dibandingkan dengan posisi Juli 2012 yang sebesar 16,15 miliar dollar AS. Nilai ekspor ini adalah yang terendah sejak hamper dua tahun lalu (Oktober 2010 hingga kini). Menurunnya kinerja ekspor ditengarai tidak lepas dari masih buruknya ekonomi Eropa yang menyebabkan permintaan barang dari negara-negara Eropa rendah. Jika dilihat dari nilainya, ekspor ke Eropa pada Agustus memang menurun, yakni sebesar 14 persen dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Namun, penurunan terbesar justru terjadi pada pasar ekspor ke Negara-negara Asia, seperti Korea Selatan (50,4 persen), Jepang (50,3 persen), Malaysia (49,6 persen), Singapura (46 persen), dan China (19,4 persen).
             Meski demikian, karena impor juga jauh menurun, neraca perdagangan Agusutus 2012 jadi surplus. Neraca perdagangan kembali surplus setelah selama empat bulan berturut-turut mengalami defisit. Impor kita secara gradual menurun sejak Mei 2012. Jiak neraca perdagangan mengalami defisit terus yang akan tergerus adalah cadangan devisa. Saat ini posisi cadangan devisa kita sebesar 110,17 juta dollar AS, menurun cukup banyak dibandingkan dengan posisi Agustus 2011 yang sebesar 124,63 juta dollar AS. Saat itu kurs rupiah masih dibawah Rp 9.000 per dollar AS. Pada Jumat (12/10), kurs rupiah Rp 9.605 per dollar AS.
             Peningkatan nilai ekspor selama ini lebih disebabkan kenaikan harga komoditas dunia ketimbang tambahan volume ekspor. Menurut data BPS, volume ekspor cenderung konstan tanpa fluktuasi yang berarti. Belum ada kebijakan kuat dari pemerintah yang berujung pada peningkatan volume ekspor. Jatuhnya harga komoditas di pasar internasional, terutama pada komoditas andalan seperti batubara, minyak sawit, dan karet, otomatis membuat nilai ekspor menurun. Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS juga bisa berpengaruh pada neraca perdagangan. Jika rupiah tetap melemah beberapa bulan ke depan, ada harapan neraca perdagangan tetap surplus.  Namun, menjaga kurs tetap kuat juga diperlukan untuk menjaga inflasi. Jika kurs kuat, inflasi akanterjaga. Menjaga ini lebih penting karena dampak inflasi langsung dirasakan masyarakat. Dampak defisit perdagangan butuh waktu jangka panjang untuk dirasakan masyarakat.
             Pemerintah dan Bank Indonesia harus menjaga nilai tukar rupiah pada tingkat yang efektif untuk mendorong ekspor dan menekan impor. Harus ada terobosan agar Negara non-Eropa tidak semakin menurun karena, jika hal ini terjadi, neraca perdagangan akankembali defisit. Laju impor harus diredam, terutama impor minyak dan gas bumi cenderung naik karena domestik tidak mampu mengurangi konsumsi bahan bakar minyak.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar