UTANG LUAR NEGERI untuk
BIROKRASI
Utang luar negeri oleh kementerian dan lembaga lebih
banyak melayani kepentingan birokrasi. Alih-alih didasarkan atas urgensi
kebutuhan rakyat, utang luar negeri sejatinya menjadi modus birokrasi menambah
pendapatan mereka. “Makanya utang luar negeri kita tidak tertib. Kementerian
dan lembaga sangat senang sekali kalau dapat utang luar negeri. Sering kali
proyeknya itu proyek yang tidak efisien. Ini kultur lama di semua kementerian
dan lembaga,” kata ekonom Sustainable Development Indonesia, Dradjad Hari
Wibowo, di Jakarta, Minggu (4/11). Pada sidang kabinet paripurna beberapa waktu lalu,
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan perintah keras kepada kementerian
dan lembaga karena gemar menaik utang luar negeri. Alasannya, utang yang
ditarik selama ini sejatinya tidak diperlukan, pengelolaannya tidak benar, dan
nihil manfaat. Sekretaris Kabinet
(Seskab) Dipo Alam, 1 November, menindaklanjutinya dengan menerbitkan
Surat Edaran Seskab Nomor 592/Seskab/XI/2012. Menurut Dipo Alam, menteri dan pimpinan lembaga
pemerintah non-kementerian diminta mengkaji ulang pengajuan pinjamannya. Dengan
meningkatnya kemampuan pembiayaan dari dalam negeri dan badan usaha milik negara,
program-program tersebut sebaiknya dibiayai dari dalam negeri. Menanggapi
langkah presiden itu, Dradjad menyatakan akan lebih baik dan tegas jika
presiden membuat peraturan presiden atau keputusan presiden yang isinya
melarang proyek utang luar kecuali untuk infrastruktur strategis. “Atau kalau
memang mendesak, bentuknya berupa peraturan pemerintah. Persetujuan
infrastruktur strategis itu harus diputuskan dalam rapat kabinet,” kata
Dradjad. Secara terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Development Of
Economics and Finance Ahmad Erani Yustika menyarankan, pemerintah tidak bisa
sebatas melihat utang dari sisi rasio terhadap produk domestik bruto (PDB). Rasio
utang terhadap PDB saat ini masih relatif rendah, yaitu 24 persen. Sisi lain
yang harus dicermati adalah debt service ratio (DSR) yang angkanya membesar.
DSR adalah jumlah pembayaran bunga dan cicilan pokok utang dibagi dengan jumlah
penerimaan ekspor. Pada triwulan I-2012, DSR Indonesia sudah mencapai 31
persen. Ini terjadi akibat akumulasi utang bertambah sedang ekspor turun. Konsensus
internasional menyebutkan, DSR melebihi 20 persen berarti lampu kuning. Berdasarkan
Data Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan, utang luar
negeri tahun 2012 direncanakan sebesar Rp 53,73 triliun. Ini terdiri atas utang
program Rp15,6 triliun dan utang proyek Rp 38,13 triliun. Realisasi
masing-masing sampai Agustus adalah Rp 3,9 triliun dan Rp 7,6 triliun.
Analisis :
Birokrasi negeri ini sama
sekali tidak mengabdi pada rakyat mulai dari tingkat rendah hingga atas
sekalipun. Yang di benak para oknum hanya untuk kekayaan pribadi. Buat apa
harus mengutang. Sedangkan negeri ini dilimpahi kekayaan alam yang sangat
besar, jika dikelola dengan baik makan tidak ada kata utang. Utang semakin
menumpuk tetapi tidak ada perubahan yang signifikan dari negeri ini.
Sumber : Kompas, 5 November 2012. Halaman 18.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar