Sabtu, 24 November 2012

UTANG LUAR NEGERI untuk BIROKRASI


UTANG LUAR NEGERI untuk BIROKRASI

Utang luar negeri oleh kementerian dan lembaga lebih banyak melayani kepentingan birokrasi. Alih-alih didasarkan atas urgensi kebutuhan rakyat, utang luar negeri sejatinya menjadi modus birokrasi menambah pendapatan mereka. “Makanya utang luar negeri kita tidak tertib. Kementerian dan lembaga sangat senang sekali kalau dapat utang luar negeri. Sering kali proyeknya itu proyek yang tidak efisien. Ini kultur lama di semua kementerian dan lembaga,” kata ekonom Sustainable Development Indonesia, Dradjad Hari Wibowo, di Jakarta, Minggu (4/11). Pada sidang kabinet paripurna beberapa waktu lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan perintah keras kepada kementerian dan lembaga karena gemar menaik utang luar negeri. Alasannya, utang yang ditarik selama ini sejatinya tidak diperlukan, pengelolaannya tidak benar, dan nihil manfaat. Sekretaris Kabinet  (Seskab) Dipo Alam, 1 November, menindaklanjutinya dengan menerbitkan Surat Edaran Seskab Nomor 592/Seskab/XI/2012. Menurut Dipo Alam, menteri dan pimpinan lembaga pemerintah non-kementerian diminta mengkaji ulang pengajuan pinjamannya. Dengan meningkatnya kemampuan pembiayaan dari dalam negeri dan badan usaha milik negara, program-program tersebut sebaiknya dibiayai dari dalam negeri. Menanggapi langkah presiden itu, Dradjad menyatakan akan lebih baik dan tegas jika presiden membuat peraturan presiden atau keputusan presiden yang isinya melarang proyek utang luar kecuali untuk infrastruktur strategis. “Atau kalau memang mendesak, bentuknya berupa peraturan pemerintah. Persetujuan infrastruktur strategis itu harus diputuskan dalam rapat kabinet,” kata Dradjad. Secara terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Development Of Economics and Finance Ahmad Erani Yustika menyarankan, pemerintah tidak bisa sebatas melihat utang dari sisi rasio terhadap produk domestik bruto (PDB). Rasio utang terhadap PDB saat ini masih relatif rendah, yaitu 24 persen. Sisi lain yang harus dicermati adalah debt service ratio (DSR) yang angkanya membesar. DSR adalah jumlah pembayaran bunga dan cicilan pokok utang dibagi dengan jumlah penerimaan ekspor. Pada triwulan I-2012, DSR Indonesia sudah mencapai 31 persen. Ini terjadi akibat akumulasi utang bertambah sedang ekspor turun. Konsensus internasional menyebutkan, DSR melebihi 20 persen berarti lampu kuning. Berdasarkan Data Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan, utang luar negeri tahun 2012 direncanakan sebesar Rp 53,73 triliun. Ini terdiri atas utang program Rp15,6 triliun dan utang proyek Rp 38,13 triliun. Realisasi masing-masing sampai Agustus adalah Rp 3,9 triliun dan Rp 7,6 triliun.

Analisis :
Birokrasi negeri ini sama sekali tidak mengabdi pada rakyat mulai dari tingkat rendah hingga atas sekalipun. Yang di benak para oknum hanya untuk kekayaan pribadi. Buat apa harus mengutang. Sedangkan negeri ini dilimpahi kekayaan alam yang sangat besar, jika dikelola dengan baik makan tidak ada kata utang. Utang semakin menumpuk tetapi tidak ada perubahan yang signifikan dari negeri ini.

Sumber : Kompas, 5 November 2012. Halaman 18.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar